Beranda | Artikel
Syarat Menjadi Pemimpin Agama
Selasa, 18 November 2014

Bagaimana Islam mensyaratkan seseorang untuk menjadi pemimpin dalam hal agama? Pemimpin yang dapat mengajak orang-orang yang bertakwa untuk melakukan perbuataan-perbuatan taat dan melarang mereka dari mengerjakan perbuatan yang mungkar. Allah Ta’ala berfiman dalam Al Qur’an Al Karim:

وَلَقَدْ آتَيْنَا مُوسَى الْكِتَابَ فَلَا تَكُنْ فِي مِرْيَةٍ مِنْ لِقَائِهِ وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ (23) وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ (24) إِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ (25)

(23) Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa Al-Kitab, maka janganlah kamu (Muhammad) ragu ketika bertemu dengannya. Dan Kami menjadikannya itu petunjuk bagi Bani Israil. (24) Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami. (25) Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya” (QS As-Sajdah: 23-25)

Tafsir Ringkas

“Dan sesungguhnya Kami telah berikan kepada Musa Al-Kitab” Kami telah berikan kepada Musa, yaitu salah satu nabi dari Bani Israil, sebuah kitab yang agung, yaitu Taurat. Sebenarnya orang-orang musyrik tidak mengingkari bahwa Rab-mu telah memberikanmu Al-Qur’an sebagaimana Rab-mu telah memberikan Taurat kepada Musa. Pada ayat ini terdapat penetapan salah satu pokok di antara pokok-pokok aqidah, yaitu adanya wahyu dan kenabian Muhammad.

“Maka janganlah kamu (Muhammad) ragu ketika bertemu dengannya” Janganlah kamu ragu ya Muhammad ketika kamu bertemu dengan Musa di malam isrâ’ dan mi’râj. Kamu benar-benar telah bertemu dengannya dan dia telah memintamu kembali ke hadapan Rab-mu untuk meminta keringanan dalam masalah shalat, sehingga pada akhirnya hanya menjadi lima kali, yang mana sebelumnya diperintahkan sebanyak lima puluh kali.

“Dan Kami menjadikannya itu petunjuk bagi Bani Israil”, menjadikan Al-Kitab atau Musa sebagai petunjuk untuk Bani Israil agar dapat menuju jalan keselamatan dan jalan yang lurus.

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin” yaitu pemimpin-pemimpin yang memberikan petunjuk kepada manusia untuk menuju ke Rab mereka, sehingga mereka bisa beriman, menyembah Allah saja, menyempurnakan ibadah mereka dengan petunjuk tersebut dan berbahagia. Ini semua dilakukan dengan perintah Allah kepada mereka.

“Ketika mereka sabar”, yaitu kesabaran dari gangguan kaum-kaumnya. “Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami” yang mengandung perintah, larangan, kabar gembira dan ancaman. Dan mereka mengemban tugas dakwah dengan dua hal: kesabaran terhadap gangguan dan keyakinan yang sempurna terhadap apa yang mereka dakwahkan.

“Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya.”

Allah ta’âla mengabarkan kepada Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwasanya Allah subhanahu wa ta’ala yang akan menyelesaikan perselisihan antara para nabi dengan kaumnya, antara orang-orang yang bertauhid dengan orang-orang musyrik dan antara ahli sunnah dengan ahli bid’ah. Allah memberikan kebahagiaan kepada orang-orang yang haq dan menyengsarakan orang-orang yang batil. Ayat ini adalah ayat untuk menghibur Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meringankan kesusahan di dalam hatinya karena kaumnya telah menyelisihinya.[1]

Penjabaran Ayat

فَلَا تَكُنْ فِي مِرْيَةٍ مِنْ لِقَائِهِ

Maka janganlah kamu (Muhammad) ragu ketika bertemu dengannya.”

Ibnu ‘Abbâs radhiallahu ‘anhuma dan Qatadah rahimahullah menyatakan bahwa makna bertemu dengannya adalah bertemu dengan Nabi Musa ‘alahissalam ketika malam isrâ’ dan mi’râj. Hal ini disebutkan di dalam hadîts-hadîts yang shahîh tentang peristiwa isrâ’ dan mi’râj.

As-Suddi rahimahullah menyatakan bahwa makna “maka janganlah kamu (Muhammad) ragu ketika bertemu dengannya” adalah janganlah kamu ragu dengan keridaan dan penerimaan Musa terhadap kitab Allah.[2]

وَجَعَلْنَاهُ هُدًى لِبَنِي إِسْرَائِيلَ

“Dan Kami menjadikannya itu petunjuk bagi Bani Israil”

Al-Baghawi rahimahullah mengatakan, “menjadikannya” artinya menjadikan Al-Kitab (Taurat). Qatadah mengatakan, “menjadikan Musa.”[3]

{لَمَّا صَبَرُوا }

“Ketika mereka bersabar”

Hamzah dan Al-Kisâ-i membacanya dengan (لِمَا صَبَرُوا) artinya “karena kesabaran mereka.” Sedangkan yang lainnya membacanya dengan (لَمَّا صَبَرُوا) artinya “ketika mereka bersabar.”[4]

وَجَعَلْنَا مِنْهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا لَمَّا صَبَرُوا وَكَانُوا بِآيَاتِنَا يُوقِنُونَ (24)

“Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar, dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami”.

Syaikh ‘Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di mengatakan, “Dan Kami jadikan di antara mereka itu yaitu dari Bani Israil ‘pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami’, yaitu ulama-ulama yang paham terhadap syariat dan jalan menuju hidayah. Mereka telah diberikan petunjuk dan juga memberikan petunjuk kepada selain mereka. Ini karena adanya petunjuk (dari Allah). Dan Al-Kitab yang diturunkan kepada mereka adalah petunjuk.

Orang-orang yang beriman di antara mereka ada dua kelompok, yaitu: para pemimpin yang memberikan petunjuk sesuai perintah Allah dan orang-orang yang mendapatkan petunjuk karena sebab pemimpin-pemimpin tersebut.

Kelompok pertama adalah kelompok yang lebih tinggi derajatnya setelah derajat kenabian dan kerasulan. Derajat ini adalah derajat orang-orang yang shiddîq (membenarkan). Mereka mendapatkan derajat yang tinggi ini karena kesabaran mereka ketika belajar, mengajarkan, berdakwah menuju Allah dan ketika diganggu saat berdakwah. Mereka menahan diri-diri mereka untuk mengerjakan perbuatan maksiat dan terjatuh kepada syahwat-syahwat.

‘Dan adalah mereka meyakini ayat-ayat Kami’, mereka telah sampai kepada derajat yakin dalam keimanan terhadap ayat-ayat Allah. Dia adalah ilmu yang sempurna yang mengharuskan seseorang untuk beramal. Mereka sampai ke derajat yakin karena mereka telah belajar dengan cara yang benar dan menyelesaikan permasalah-permasalah dengan dalil-dalinya yang dapat mendatangkan keyakinan.

Mereka senantiasa mempelajari permasalahan-permasalahan dan berdalil dengan banyak dalil, sampai mereka mendapatkan keyakinan. Oleh karena itu, dengan kesabaran dan keyakinan, maka akan diraih kepemimpinan dalam agama.[5]

Kaidah (بِالصَّبْرِ وَاْليَقِيْنِ، تُنَالُ الإمَامَةُ فِي الدّيْنِ)

Arti kaidah tersebut adalah dengan kesabaran dan keyakinan, maka akan diraih kepemimpinan dalam agama, sebagaimana disebutkan oleh Syaikh As-Sa’di di atas.

Kaidah ini memiliki asal di dalam syariat, banyak ulama yang menjadikan dua syarat ini sebagai syarat untuk bisa menjadi pemimpin di dalam agama. Pemimpin yang dapat mengajak orang-orang yang bertakwa untuk melakukan perbuataan-perbuatan taat dan melarang mereka dari mengerjakan perbuatan yang mungkar. Pemimpin-pemimpin yang diteladani, diikuti dan diambil ilmu, akhlak, adab dan amalannya oleh orang-orang yang bertakwa di sekitarnya.

Syaikhul-Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata:

فَمَنْ أُعْطِيَ الصَّبْرَ وَالْيَقِينَ: جَعَلَهُ اللَّهُ إمَامًا فِي الدِّينِ

“Barang siapa yang diberikan kesabaran dan keyakinan maka Allah akan menjadikannya pemimpin di dalam agama.”[6]

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “… Bahwasanya pemimpin-pemimpin agama yang mereka dijadikan teladan adalah orang-orang yang menggabungkan antara kesabaran, keyakinan dan juga berdakwah menuju Allah dengan sunnah dan wahyu, bukan dengan pendapat-pendapat atau bid’ah-bid’ah. Mereka adalah pengganti-pengganti/penerus-penerus Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam di dalam umatnya. Mereka adalah orang-orang khusus baginya dan juga wali-walinya. Barang siapa yang memusuhi dan memerangi mereka maka sesungguhnya dia telah memusuhi Allah subhanahu. Dan Allah akan mengumumkan peperangan kepadanya.”[7]

Urgensi (Pentingnya) Kesabaran

Ibnu Katsir rahimahullah mengatakan, “Dan berkata Ibnu Binti Asy-Syafii, ‘Bapakku membaca hadits di hadapan pamanku atau pamanku membaca hadits di hadapan bapakku, Sufyan ditanya tentang perkataan ‘Ali radhiallahu ‘anhu:

الصَّبْرُ مِنَ الْإيْمَانِ بِمَنْزِلَةِ الرَّأْسِ مِنَ الْجَسَدِ

“Kedudukan sabar dalam keimanan seperti kedudukan kepala terhadap badan.”

Sufyan berkata, “Tidakkah engkau mendengar perkataan Allah: “Dan Kami jadikan di antara mereka itu pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah Kami ketika mereka sabar”?

Kemudian Sufyan mengatakan:

لَمَّا أَخَذُوْا بِرَأْسِ الْأَمْرِ صَارْوُا رُؤُوْسًا

“Ketika mereka mengambil inti dari segala urusan maka mereka menjadi pemimpin-pemimpin.”[8]

Allah juga telah menyempurnakan kalimat-kalimatnya untuk Bani Israil karena kesabaran yang mereka miliki. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

وَتَمَّتْ كَلِمَتُ رَبِّكَ الْحُسْنَى عَلَى بَنِي إِسْرائيلَ بِمَا صَبَرُوا

Dan telah sempurnalah perkataan Rab-mu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka.” (QS Al-A’raf: 137)

Allah juga senantiasa membantu dan menolong orang-orang yang bersabar. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:

إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.” (QS Al-Baqarah: 153)

Begitu pula Allah telah menjadikan mereka pemimpin-pemimpin karena mereka sabar dalam ketaatan kepada Allah subhanahu wa ta’ala. Allah berfirman:

وَجَعَلْنَاهُمْ أَئِمَّةً يَهْدُونَ بِأَمْرِنَا وَأَوْحَيْنَا إِلَيْهِمْ فِعْلَ الْخَيْرَاتِ وَإِقَامَ الصَّلَاةِ وَإِيتَاءَ الزَّكَاةِ وَكَانُوا لَنَا عَابِدِينَ

Dan Kami Telah menjadikan mereka itu sebagai pemimpin-pemimpin yang memberi petunjuk dengan perintah kami dan Telah kami wahyukan kepada, mereka mengerjakan kebajikan, mendirikan sembahyang, menunaikan zakat, dan Hanya kepada kamilah mereka selalu menyembah.” (QS Al-Anbiyâ’ : 73)

Perbedaan antara mengharapkan kepemimpinan di dunia dan kepemimpinan agama untuk berdakwah

Diriwayatkan dari ‘Abdurrahman bin Samurah radhiallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ لاَ تَسْأَلِ الإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إِنْ أُوتِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُوتِيتَهَا مِنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا

Ya ‘Abdurrahmân bin Samurah! Janganlah kamu meminta kepemimpinan. Sesungguhnya jika itu diberikan kepadamu dengan cara kamu memintanya, maka kamu akan dibiarkan untuk mengurusnya sendiri. Tetapi jika itu diberikan kepadamu tanpa engkau memintanya, maka engkau akan dibantu untuk mengurusnya”.[9]

Hadits ini menunjukkan tercelanya meminta jabatan atau kepemimpinan. Tetapi kepemimpinan yang dimaksud dalam hadits ini adalah kepemimpinan dalam urusan duniawi. Adapun menjadi pemimpin-pemimpin orang yang bertakwa, maka itu adalah kedudukan yang tinggi di hadapan Allah subhanahu wa ta’ala dan tidak ada cela sedikit pun padanya.

Ibnu Qayyim Al-Jauziyah rahimahullah mengatakan, “Apabila seorang hamba yang berdakwah menuju Allah menginginkan untuk menjadi orang yang besar di mata-mata pengikutnya, disegani di hati-hati mereka, dicintai oleh mereka dan menjadi orang yang ditaati di antara mereka agar mereka mengikuti dan menjalankan peninggalan Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan bimbingan darinya, maka hal tersebut tidak berbahaya bagi dirinya. Bahkan, dia dipuji atas apa yang dilakukannya… Oleh karena itu, Allah subhanahu menyebutkan hamba-hamba-Nya yang memiliki kekhususan pada dirinya dan memuji mereka dalam Al-Qur’an serta membalas mereka dengan balasan yang paling baik di hari pertemuan dengan-Nya. Allah menyebutkan amalan-amalan terbaik yang mereka lakukan dan sifat-sifat mereka (yaitu di bagian akhir surat Al-Furqan-pen). Kemudian Allah mengatakan:

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyejuk mata-mata (Kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”” (QS Al-Furqan:74).

Mereka meminta kepada Allah agar Allah menyejukkan pandangan-pandangan mereka dengan ketaatan kepada Allah yang dilakukan oleh istri-istri dan anak keturunannya dan bisa membuat hati-hati mereka senang dengan ikutnya orang-orang yang bertakwa kepadanya di dalam ketaatan dan ibadah. Sesungguhnya imam dan pengikutnya saling membantu di dalam ketaatan. Mereka meminta hal tersebut dan membimbing orang-orang yang bertakwa untuk melakukan hal-hal yang diridai Allah dan melakukan ketakwaan kepada-Nya. Doalah yang mereka ucapkan kepada Allah untuk mendapatkan kepemimpinan di dalam agama, yang mana pondasinya adalah kesabaran dan keyakinan.

Hal ini berbeda dengan pengharapan untuk mendapatkan kepemimpinan (dunia). Sesungguhnya orang-orang yang mencarinya akan berusaha keras untuk mendapatkannya, agar mendapatkan tujuan-tujuan mereka yang berupa kedudukan tinggi di dunia… Dampak dari keinginan ini adalah munculnya kerusakan-kerusakan yang tidak mengetahuinya kecuali Allah, baik berupa: perampasan hak orang lain, hasad, melampai batas, dengki, kezaliman, fitnah, melindungi diri sendiri tanpa memperhatikan hak Allah, mengagungkan orang-orang yang dihinakan oleh Allah, menghinakan orang-orang yang dimuliakan oleh Allah. Dan tidak akan sempurna kepemimpinan duniawi kecuali dengan melakukan hal-hal tersebut.”[10]

إِنَّ رَبَّكَ هُوَ يَفْصِلُ بَيْنَهُمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ

“Sesungguhnya Tuhanmu Dia-lah yang memberikan keputusan di antara mereka pada hari kiamat tentang apa yang selalu mereka perselisihkan padanya”

Ath-Thabari rahimahullah mengatakan, “Sesungguhnya Rab kamu ya Muhammad, Dia-lah yang menjelaskan segala hal di antara makhluknya di hari kiamat atas apa-apa yang mereka berselisih di dunia, baik dalam urusan: agama, kebangkitan, balasan baik, hukuman dan yang lainnya… Kemudian Dia akan membedakan di antara mereka dengan keputusannya yang adil, Dia akan membalas orang-orang yang haq dengan surga dan orang-orang yang batil dengan neraka.”[11]

Demikianlah penjelasan tentang ayat-ayat di atas. Dan kita bisa menarik kesimpulan bahwasanya menjadi pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa tidak mungkin diraih kecuali dengan kesabaran dan keyakinan.

Mudah-mudahan penulis dan pembaca dijadikan oleh Allah sebagai pemimpin-pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa, sehingga mendapatkan kedudukan yang mulia di sisi Allah. Amin.

Mudahan bermanfaat.

 

Daftar Pustaka
  1. Adhwâul-Bayân fi Îdhâhil-Qur’ân bil-Qur’ân. Muhammad Al-Amîn Asy-Syinqîthi. 1415 H/1995 M. Libanon: Dârul-Fikr.
  2. Aisarut-Tafâsîr li kalâm ‘Aliyil-Kabîr. Jâbir bin Musa Al-Jazâiri. Al-Madinah: Maktabah Al-‘Ulûm wal-hikam
  3. At-Tahrîr wa At-Tanwîr. Muhammad Ath-Thâhir bin ‘Âsyûr. 1997. Tinusia: Dar Sahnûn.
  4. Ma’âlimut-tanzîl. Abu Muhammad Al-Husain bin Mas’ûd Al-Baghawi. 1417 H/1997 M. Riyâdh:Dâr Ath-Thaibah.
  5. Tafsîr Al-Qur’ân Al-‘Adzhîm. Ismâ’îl bin ‘Umar bin Katsir. 1420 H/1999 M. Riyâdh: Dâr Ath-Thaibah.
  6. Taisîr Al-Karîm Ar-Rahmân. Abdurrahmân bin Nâshir As-Sa’di. Beirut: Muassasah Ar-Risâlah.
  7. Risâlah Ibnil-Qayyim Ilâ Ahadi ikhwâni. Muhammad bin Abî Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah. 1420 H. Riyadh: Fahrisah Maktabah Al-Malik Fahd Al-Wathaniyah.
  8. Ar-Rûh. Muhammad bin Abi Bakr bin Qayyim Al-Jauziyah. 1395 H/1975. Beirut: Dâr Al-Kutub Al-‘Ilmiyah.
  9. Majmû’ Al-Fatâwâ. Taqiyuddin Abul-‘Abbâs Ahmad bin Abdil-Halîm bin Taimiyah. 1426 H/2005. Mesir: Dârul-Wafâ’.
  10. Dan sumber-sumber lain yang sebagian besar sudah tercantum di footnotes.
Catatan Kaki

[1] Aisarut-Tafâsîr III/267.

[2] Lihat Ma’âlimut-Tanzîl VI/308 dan Tafsîr Ibni Katsîr VI/371.

[3] Ma’âlimut-Tanzîl VI/309.

[4] Lihat Ma’âlimut-Tanzîl VI/309.

[5] Tafsîr As-Sa’di hal. 656-657.

[6] Majmû’ Al-Fatâwâ VI/215.

[7] Risalah Ibnil-Qayyim Ila Ahadi ikhwâni hal. 24

[8] Tafsîr Ibni Katsîr VI/371.

[9] HR Al-Bukhari no. 6622 dan Muslim no. 1652

[10] Ar-Rûh hal. 252-253.

[11] Tafsîr Ath-Thabari 18/639.

🔍 Hukum Mengusap Muka Setelah Berdoa, Bacaan Istighfar Setelah Shalat, Kaligrafi Ar Razzaq, Pengertian Fakir Dalam Islam


Artikel asli: https://muslim.or.id/23452-syarat-menjadi-pemimpin-agama.html